Kamis, 07 April 2011

Jalan Sensualitas, Pintu Spiritualitas

Sensualitas dan spiritualitas sebagai proses keberagamaan
masih diyakini oleh arus
utama (mainstream)
agamawan, khususnya Islam,
sebagai dua aspek yang
berposisi oposisional.

Sensualitas yang bisa
didefinisikan sebagai
pencerapan dengan panca
indera diasumsikan fakultas
tubuh yang menghalangi
perjalangan menuju pintu
spiritualitas.

Puasa seperti yang
dilaksanakan pada Ramadan
adalah salah satu cara untuk
mengendalikan sensualitas
agar tak menutupi pintu ke
spiritualitas.

Sebenarnya Islam
tak menganut paham
asketisme ekstrim, karena itu
pengendalian sensualitas
dalam puasa bisa dipahami
sebagai manajemen
sensualitas untuk
meningkatkan spiritualitas.

Sikap asketisme didefiniskan
sebagai sikap yang menolak
diri dan menjauhi kesenangan
duniawi.

Bagaimana sebetulnya
hubungan antara sensualitas
dan spiritualitas?

Dr. Taufiq Pasiak, dosen
fakultas Kedokteran
Universitas Sam Ratulangi
Manado pernah menulis di
majalah Azzikra Jakarta
bahwa banyak penelitian
menemukan bahwa orang-
orang yang mempraktikkan
kehidupan spiritual yang
dalam, atau orang-orang
melakukan hubungan seks
yang didasari cinta dan
keterikatan, dapat
memperpanjang umur, lebih
terhindar dari stroke dan
penyakit jantung, memiliki
sistem kekebalan yang lebih
baik, serta memiliki tekanan
darah yang relatif rendah
dibandingkan subyek yang
menjadi pembanding.

Masih menurut Dr. Taufiq,
pengalaman spiritual dan
seksual –bagian dari
sensualitas–bagaikan dua sisi
dari sebuah koin sirkuit sarafi
yang diaktori oleh sistema
limbicum, bagian yang paling
tua dalam evolusi
perkembangan otak yang
berhubungan dengan
spiritualitas.

Riset-riset
neurosains membuktikan
bahwa kegiatan seksual dan
penyatuan mistis (mystical
union) melibatkan sirkuit yang
sama dalam otak manusia.

Struktur neurologis yang
terlibat dalam pengalaman
spiritual adalah juga struktur
yang terlibat dalam
pengalaman seksual.

Ketika seseorang merasakan
kenikmatan ejakulasi atau
orgasme, maka ia seperti
sedikit merasakan kenikmatan
penyatuan diri (‘fana) seperti
yang dialami para mistikus.

Dalam konteks di atas, kita
bisa berhipotesis bahwa
hubungan seks yang didasari
atas cinta dan keterikatan
merupakan jalan pertama
menuju penyatuan diri yang
hakiki dengan Yang Dicintai.

Masuk akal jika kesamaan
sirkuit sarafi yang dipakai ini
mewujud juga dalam ekspresi
bahasa yang relatif sama.

Bukan kebetulan jika istilah
dan idiom yang dipakai
kalangan mistikus ketika
melukiskan penyatuan itu
merupakan terma-terma
romantisme yang juga dipakai
ketika seseorang jatuh cinta.

Wallahualam.

Salam CTD

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

my Cbox